Minggu, 19 September 2010

Ketika daun mulai menguning ( 1 ), ibu A Cin

Adalah ibu A Cin,
yang sering bertanya kepadaku,
kenapa selalu memanggul ransel ke mana-mana ?
banyak barang berhargakah di dalamnya ?
Aku hanya tersenyum - senyum,
dan menjawab dalam hati,
aku belum mendapat kursi di ruang guru,
karena semua kursi sudah terisi,
dan ada kamera kesayangan di dalam ransel ini.


Adalah ibu A Cin,
yang ketika berulangtahun bulan agustus,
mengatakan,
aku sudah capek,
sering lupa,
takut menjadi pikun,
karena itu ibu pensiun,
biar tidak menjadi linglung.

Adalah ibu A Cin,
yang mengeluh,
anak murid sekarang nakal,
susah diatur,
tidak mau mendengar,
lebih asyik kong ke dengan teman di kelas
daripada menyimak pelajaran.
Keluhan yang sama,
kulontarkan dua bulan terakhir ini.
Mungkin karena kebanyakan minum susu kaleng sahutku.
Bukan susu kaleng, tapi susu sapi, jawab ibu membetulkan.
Berarti ASI sudah diluppakan ?

Adalah ibu A Cin,
yang berpidato singkat,
di depan ratusan muridnya,
dan menasehati :
kita punya dua mata, dua telinga dan satu mulut,
pergunakanlah dua mata untuk banyak melihat,
dua telinga untuk banyak mendengar,
tapi satu mulut, pergunakanlah dengan bijak,
sedikit bicara.
Mungkin ibu ingat dengan susu kaleng, eh.., susu sapi.

Adalah ibu A Cin,
yang harus ku-minta-i maaf,
karena aku salah menekan tombol,
di kamera yang berposisi vertikal,
sehingga pidato singkat ibu,
di hadapan para murid tersayang,
tidak terekam.
Tetapi empat hari kemudian,
aku baru sadar,
posisi kamera vertikal tidak boleh merekam video,
karena nanti di layar kaca,
leher kita bisa sakit salah bantal.
karena menonton video dengan memiringkan kepala.
Pelajaran berharga karena keteledoranku.

Adalah ibu A Cin,
yang tetap menunjukkan sikap seorang guru,
membetulkan letak kerah baju seorang murid,
ketika bersalaman perpisahan,
yang menyelesaikan salam perpisahan,
dengan lima belas kelas,
empat ratus lima puluh murid,
dalam waktu delapan menit !
Biar murid - murid tidak kepanasan terjemur,
katanya.

Adalah ibu A Cin,
yang sekali lagi harus ku-minta-i maaf,
karena aku jahil,
men-shoot ibu sedang nangis,
menyimak dengan haru,
ucapan perpisahan dari rekan guru,
di siang hari itu,
di acara purnabakti dengan yayasan itu.


Adalah ibu A Cin,
yang akan pergi ke Lourdes,
mencari mukjizat,
bersyukur untuk hidup ini,
kepada Yang Maha Pengasih.
Semoga hari - hari nanti,
adalah hari penuh puji dan kasih. 



Adalah ibu A Cin,
yang harus kuberikan terima kasih,
karena mewariskan kursi di ruang guru,
untuk kutempati,
biar tak lelah lagi memanggul ransel,
tas yang penuh tanggung jawab,
yang ingin kuisi dengan dedikasi,
dan karya bakti,
yang ingin kutiru dari ibu,
selama tiga puluh enam tahun mengabdi,
selama ini.
Hidup dedikasi !

Jumat, 10 September 2010

Tiga keping iman

Di suatu pagi
hari minggu 18 juli 2010.
di katedral santo yosef.
di pinggir barisan bangku
duduk kami bertiga,
menunggu misa dimulai,
menyisakan satu tempat duduk
di samping kananku.


Seorang bapak berbaju batik,
bergegas menyelip di sampingku.
tak berbasa basi.
karena misa sudah dimulai.

Mulanya semua berjalan seperti biasa,
sampai doa Anak Domba Allah,
sang bapak mengeluarkan cawan datar,
berlapis warna emas dengan tutupnya.
melapnya dengan kain putih,
meletakkan cawan di telapak kirinya
dan berbaris menghampiri prodiakon.

Ketika sampai gilirannya,
terucap permintaannya,
dua eh... tiga hosti diminta.
Pro diakon memenuhinya
tanpa banyak tanya,
mungkin sudah kenal,
mungkin sudah terbiasa,
mungkin tak mau banyak debat
dan membuat keributan.

Satu hosti ditelan,
dua tersimpan di cawan.

Kembali ke bangku,
doa dipanjatkan,
tanpa perlu duduk,
cawan dibungkus kain
dengan takzim
dan berlalu pulang,
padahal misa belum usai.

Tuhan,
ada apa ?
Apakah sekeping tubuhMu tidak cukup untuknya,
dan dia perlu stok untuk acara lain di hari minggu ini ?
Atau,
dua keping iman itu
untuk yang sakit di rumah,
dan untuk yang menemani si sakit ?
Karena si sakit tidak dapat mengikuti misa,
jadi boleh diwakili ?

Anakku yang berusia sepuluh tahun
berbisik :
wah, hostinya bisa jadi darah lho...
Karena dia teringat cerita pastur
di Lingkungan dulu,
bahwa ada seorang bapak yang nakal,
menerima hosti
tapi tidak ditelan,
hanya dikantongi di saputangan,
dan ketika sampai di rumah,
hosti menjadi darah,
dan bapak nakal menjadi setengah gila.

Ah,
tiga keping iman untuk sang bapak,
semoga berguna,
dan menyadarkan,
walau secara liturgi tidak boleh,
tapi...
que sera - sera,
ad maiorem Dei gloria.