Minggu, 25 Desember 2011

Ini Bulan Desember

Ini bulan Desember
Bulan penuh kabar gembira
Bulan pembagian rapor semester satu
Bulan sang guru menjadi sinterklas 
atau piet hitam
ketika pikiran dan perasaan 
bercampur baur.


Ini bulan Desember
Bulan penuh kabar gembira
Bulan pembagian bonus akhir tahun untuk guru dan karyawan
Bulan penghasilan yang bertambah setahun sekali
Ketika bonus menjadi relatif nilainya.
cuma setiupan angin 
atau menjadi rasa syukur.


Ini bulan Desember
Bulan penuh kabar gembira
Bulan sesudah reuni sekolah
yang menyadarkan alumni
betapa bersahajanya kehidupan 
para pensiunan guru
Sesudah tiga dasawarsa lebih mengajar
Karena itu tergeraklah hati mereka
meniru sinterklas membagikan hadiah
sedikit rasa perduli untuk guru tercinta
amplop natal yang menggembirakan.

Ini bulan Desember
Bulan penuh kabar gembira
Ketika kabar gembira diwartakan
dan semua umat bersorak : Alleluya
dan denting musik mengalun
syahdu, indah dan gembira
mengalun ke relung hati kita
menjadi cermin untuk berkaca
setelah setahun berlalu
Merefleksikan pikiran
Merefleksikan perasaan
Memantulkan kebesaran hati
Menyinarkan kejernihan jiwa
Seperti kilau bintang di langit timur

Selamat hari Natal
Gloria in excelsis Deo
Ad Maiorem Dei Gloria.

Senin, 28 November 2011

Ketika maut menjemput

Renungan ini muncul pada hari Jumat, 25 November 2011, 
hari ultah Konggregasi Bruder Budi Mulia Pangkalpinang,
satu jam sebelum ziarah ke kuburan para perintis 
dan mereka yang pernah berkarya di Sekolah Budi Mulia - Pangkalpinang.
Requiem in pace.


Ketika maut menjemput
maka kesadaran pun muncul

betapa hidup hanya menumpang minum
betapa waktu hanya sejarak helaan napas
betapa ajal tak bisa dicegah kedatangannya.

betapa hidup penuh misteri
betapa waktu adalah relatif
apa itu lama, apa itu sebentar,
betapa ajal tiba tak mengenal tempat,
tak mengenal saat,
tak mengenal identitas.

Ketika maut menjemput
maka kesadaran pun muncul

biarkan yang terjadi harus terjadi
biarkan yang sudah saatnya
digenapi waktunya
biarkan dia mengembara di dunia ini
menemukan kesadarannya,
maut akan menjemput
setiap saat,
setiap tempat,
hanya que sera sera terucap
dan serahkan sepenuhnya
kepada Sang Maha Pengatur.

Ketika maut menjemput,
biarkan kesadaran itu muncul,

memenuhi pikiran,
membumbungkan rasa syukur
ke langit ketujuh,
tempat kesadaran bersemayam
dengan bijak,
pada akhirnya.

Minggu, 06 November 2011

Ketika reuni menjelang...

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena kehilangan sebagian ingatan,
tentang suka dan duka
di sekolah dulu.
Mencoba menggali ingatan,
sambil menghapus kenangan pahit,
semuanya bercampur baur,
hanya samar - samar tersisa.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena masih terbayang,
dendam yang tak jua hilang,
entah sebab apa,
entah kepada siapa,
hatinya tetap terkurung,
di remang bayang silam,
pikirannya masih terantuk
langit - langit picik,
jiwanya terikat,
di kobaran api gusar,
dan melihat hidup
penuh kebencian.


Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena takut kehilangan muka,
hilang kepercayaan diri,
merasa tak berarti,
di hadapan kroni,
Mencoba tampil diri,
datang dengan kamuflase,
membohongi diri sendiri.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
tak perduli hari - hari,
yang mungkin melekat di memori,
menjadikan teman karib tak berarti,
yang penting diri sendiri,
menjadi takabur diri,
dan hanya mencibir sinis,
kalian yang perlu aku,
si tinggi hati ini.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena aku sudah letih,
mengais - ngais rejeki,
setiap hari,
tertatih - tatih,
tetap seperti ini.
Sungguh sedih,
meminta tapi tak ada bunyi,
dan aku makin menjauhkan diri.

Dan hari - hari reuni semakin dekat.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
memamerkan diri,
dengan bangga bilang :
inilah tuanmu datang...
pongah dan takabur-nya
tak hilang - hilang
walau sudah lama berselang,
sungguh kasihan.


Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
dengan hati tulus,
mengulurkan tangan,
sudah sekian tahun berselang,
mengapa tak bilang - bilang ?
Kugenggam tanganmu kawan,
biarkan kenangan kita tetap berjalan,
dan persahabatan kita tak terentang,
banyak hal dapat kita lakukan,
banyak suka dapat kita ciptakan,
marilah kawan bersama lagi,
demi masa depan terang benderang.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
mencari keberanian,
untuk meminta maaf
atas kenakalan dulu,
atas kekhilafan dulu,
atas kebodohan dulu,
demi ketentraman hati,
demi keterbukaan pikiran,
dan kelegaan tak akan sembunyi lagi.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
karena ini kesempatan,
yang mungkin tak akan terulang,
karena esok sudah mendiang
dan tinggal kenangan.



Ketika reuni menjelang,
banyak yang.......

Dan hari - hari reuni sudah datang,
sekarang.

Peluk daku, Guru ! (Cerita Pertama)

Peluk daku, Guru !
Semalaman aku tak bisa lelap,
selalu terngiang suara gaduh,
pertengkaran ayah dan ibu,
tentang tagihan yang harus dibayar,
tentang kesehatan ibu yang kian memburuk.
tentang atap rumah yang bocor,
tentang motor ayah yang sering mogok,
tentang nilai ulanganku yang jelek,
tentang tetangga yang nyinyir,
tentang segala tentang.


Peluk daku, Guru !
Pagi ini aku bangun terlambat,
cuma cuci muka,
sikat gigi
tanpa sarapan,
terburu - buru berlari
karena ayah sudah menunggu
dengan suara klakson yang hingar bingar
dan omelan rutin di pagi hari.

Peluk daku, Guru !
di kelas aku bikin keributan,
mencari perhatianmu sesaat,
kugedor meja,
kuganggu teman,
kulampiaskan risauku,
hanya supaya aku diperhatikan,
tolong batinku,

segarkan pikiranku,
biar aku tak menangis,
tersedu dalam hati.


Peluk daku, Guru !
siang yang sepi di rumah,
ayah sibuk di luar,
mencari uang untuk sekolahku,
ibu mengurus adik kecilku,
yang rewel dan ingusan,
aku hanya makan siang,
sepiring nasi

dengan lauk mata sapi
dan kerupuk yang disiram kecap hitam.

Peluk daku, Guru !
hati yang sunyi di malam hari,
suara jangkrik terdengar merintih,
pe er tak bisa kukerjakan,
les tak mampu kuikuti,
tak ada yang membayar,
ayah pulang dengan wajah letih,
dan tidur cepat dengan dengus turun naik,
ibu meninabobokan adik kecilku,
alunannya menyusup ke dalam relung hatiku,
sampai kapan ini terjadi ?

Peluk daku, Guru !
walau hanya sesaat,
tanpa ada getar kasih,
cukuplah untuk melipur hati.
Biarkan sedu sedan ini
mengalir di dadamu,
dan akan terpatri di ingatanku,
Guru memeluk aku,
karena permintaanku.


Peluk daku, Guru !
Guru,
peluk daku...

Minggu, 16 Oktober 2011

Riwayat satu unit tangki air

Duduk sendirian di bangku semen
di teras kelas 3
memandang ke depan
melihat tangki air baru,
stainless steel,
tinggi besar dan berkilau,
menjulang di dalam taman bermain.

Cuaca terik menyengat,
dan pantulan di tangki air
sekilas membentuk bayangan kilas balik
sembilan bulan lalu
ketika menyaksikan
hari - hari pencarian sumber air
yang melelahkan.
Mem-bor di lapangan bulutangkis di aula,
dengan mesin yang berkekuatan besar,
dan jam - jam yang menjenuhkan
menunggu kepastian,
seberapa besar debit air bisa didapat.
Dan akhirnya,
harapan itu kandas,
karena debit dianggap tidak mencukupi,
padahal lokasi itu adalah hasil terawang
dari seorang bruder,
yang punya daya linuwih.

Kemudian berpartisipasilah
seorang bapak di tata usaha sekolah
dan dengan doa tulus
sumber air didapatkan
di dalam taman TK
Dan pengulangan kerja dilakukan
dengan harap - harap cemas
mencari sumber kehidupan
menanti lagi
dan
doa terkabul
debit air sesuai dengan yang diharapkan.

Hari demi hari berlalu,
berganti minggu,
berganti bulan
dan sekarang baru terwujud
menara dengan tangki air di atasnya.
Lelah hati sudah menunggu.


Dan kesadaran baru muncul
bahwa air memegang kendali vital,
Sumber air dulu
hanya dari sumur tua di samping perpustakaan SMP,
tidak cukup
untuk seribu jiwa selama jam sekolah,
urusan kebersihan,
urusan peturasan,
urusan kehidupan.


Pekerjaan lain sudah menunggu,
menanti gedung sekolah baru terwujud
dengan bak air sekolam renang
entah berapa bulan lagi
harus menanti.

Dan lamunan terputus,
ada murid berteriak :
" Pak, soal 89 menurun, banyu, apa artinya ? "
Ekskul Asah Otak sedang berlangsung.
Kembali ke kenyataan,
sekarang.

Rabu, 12 Oktober 2011

Adakah dokter di sini ?

di sini adalah gereja katedral santo yosef
pada hari minggu biasa
misa jam delapan pagi
duduklah di barisan bangku terdepan
di bagian tengah gereja.

di sini adalah perayaan ekaristi seperti biasa
terlihat seorang gadis kurus kecil sendiri
melangkah terburu - buru
masuk ke dalam ruangan
mencari tempat duduk
di bangku tepat di depanku
hanya dipisahkan sepotong lorong.

di sini adalah bagian komuni dari misa
dan gadis kurus kecil
entah kapan keluar ruangan,
tergesa - gesa masuk lagi ke dalam
dan mengantri terakhir
di barisan penerima hosti.

di sini adalah akhir misa,
pembacaan pengumuman
dan gadis kurus kecil merintih menderita
menyibukkan umat di kiri kanan
menggosok minyak angin di dahi
dibopong oleh dua lelaki baik hati
menuju ke luar gereja.

di sini adalah pertanyaan :
"adakah dokter di sini ?"
di rumah Sang ilahi
ketika hal apa saja dapat terjadi,
memberi atau pun mengambil,
datang atau pun pergi.

di sini adalah pertanyaan lagi,
ketika sang dokter tidak hadir,
maukah kita menolong dan memiliki hati ?
seperti janji kepada diri sendiri
ketika itu.
di sini adalah kesadaran,
kita harus menyiapkan diri
apa pun bisa terjadi
dalam segala situasi
dalam segala kondisi
apakah hati kita sedang bersembunyi ?

di sini adalah ..................
di sini
saat ini.

Senin, 10 Oktober 2011

Suatu hari, kudengar kata Spiritualitas dan Etos Kerja

Jumat dan Sabtu, 26 dan 27 Agustus 2011
dua hari yang menggembirakan,
bertemu dengan Br. Bambang.

Banyak cerita lucu terdengar,
banyak renungan yang perlu direfleksikan,
biar tugas mendatang lebih terasa menyenangkan,
menapak hari - hari dengan senyuman.

Ada kalimat hiperbola terucap
selama dua hari yang segar itu :
jatuh tigabelas kali misalnya,
untuk menggambarkan
jeleknya jalan yang harus ditempuh
untuk ,menjadi guru di tempat terpencil,
seperti terkucil.


Atau ketulusan seorang ibu guru,
di suatu desa di daerah Klaten,
dengan gaji sak bruttt...
( hanya segumpal angin yang keluar ),
tetapi dapat menikmati makan siang
nasi dengan sayur bening dan sambal,
dan kegembiraan terpancar di tutur kata sang ibu guru.


Mungkin juga takdir
yang berkata lain,
di suatu waktu,
di suatu tempat,
tak ada yang tahu,
semua sudah digariskan
menuju batas akhir,
menghadap Ilahi
dan hanya tertegun yang muncul.

Dan kesadaran
haruslah muncul,
sesudah dua hari yang ceria,
dengan canda yang menyenangkan.

Mungkin akan muncul lagi kerinduan
untuk bertemu
di kelak kemudian hari,
mengingat kembali
apa yang telah didapat,.
apa yang menjadi tekad,
apa yang akan digiatkan,
apa yang telah dikuatkan,
hanya hati di dalam
yang tahu
sejujurnya.



Yang sudah lalu biarlah berlalu
dan ada yang perlu
diperbaharui
selalu,
menyongsong esok hari
yang menanti.
Buktikan tekadmu.

Minggu, 28 Agustus 2011

Gadis kecil dengan kejujuran besar

13 Juli 2011,
hari ketiga awal tahun ajaran,
saat itu sudah pulang sekolah,
jam sembilan lewat sedikit.

Berdiri melemparkan pandangan,
di selasar dekat kantor guru sd,
sendirian,
dan tiba - tiba
seorang gadis kecil,
wajah yang tidak kukenal,
mungkin kelas tiga,
berambut panjang,
menghampiri dengan tangan terjulur,
menyodorkan selembar uang kertas :
si biru lima puluh ribu rupiah,
dan berkata dengan polos,
sejernih warna langit saat itu :
ada uang jatuh, pak,
dan berlalu tanpa pa pi pu.


Aku termangu,
melihat si biru
di genggaman,
dan terbersit pikiran,
mau diapakan uang ini,
senilai dua bungkus chao pan thiao,
dan nurani lebih menuntun
untuk meletakkan si biru
di kotak kas koperasi guru,
dan bebanpun menjauh.

Kembali ke tempat tadi,
melihat bu Lena menghampiri,
dengan raut wajah cemberut,
dan duduk di kursi
sambil berkeluh kesah :
dapat lima puluh,
                                                                hilang lima  puluh.

Ternyata,
selembar uang biru
telah berlalu
dari genggamannya
dan itu artinya
si biru dari gadis kecil
adalah si biru yang pergi tanpa pamit.

Sekarang si biru sudah kembali,
dan senyum ceria
menghiasi banyak wajah guru,
di ruangan yang panas itu.
Ada yang berujar,
guru kelas dua
sudah berhasil mengajarkan
kejujuran
dan kerelaan
kepada si gadis kecil
dengan kejujuran yang besar.

Berbahagialah engkau
gadis kecil,
telah memberikan teladan,
tentang kejujuran,
tentang kerelaan,
tentang ketulusan.
Biarkan nilai besar itu
selalu ada di genggamanmu.







( dan esok harinya, 
seorang gadis besar,
bersama rombongannya,
menyodorkan selembar
lima ribuan,
yang ditemukan di jalan,
basah dan terlipat.
uang itu ada di kotak kas koperasi. )

Rabu, 27 Juli 2011

Black and White

Setahun lalu,
ketika melongok ke kelas kenangan,
hati terperanjat,
melihat papan tulis hitam masih bertengger.
Sudah berapa tahun berlalu ?
Sudah berapa banyak debu kapur dihirup guru ?




Setengah tahun kemudian,
papan tulis hitam mulai dicopot satu,
diganti papan tulis putih,
dengan spidol baru,
yang bikin murid punya kebiasaan baru,
mengisi spidol kosong
dengan terburu - buru,
demi penghematan,
mengisi dengan tinta isi ulang,
dipakai hingga spidol hilang ujung bulu,
baru dicampakkan,
biarkan berlalu bersama debu.


Dan lihatlah,
ada nuansa baru,
ada pemandangan baru,
hitam dan putih bersanding
di depan murid,
sedikit menyembuhkan rindu,
akan kesehatan yang perlu
untuk guru,
untuk si badu muridku yang lucu.


Yang tinggal adalah penghapus abu - abu
yang membuat hati haru biru,
abu - abu bergaris putih,
kualitas nomor satu, 
tanpa kayu pegangan,
hanya busa abu - abu, 
masa lalu yang muncul baru.




Ada hitam dan putih,
dan sepotong abu - abu,
di ujung kelasku dahulu.
Membuatku terharu,
mengingat - ingat masa lalu,
dulu,
ketika kaki mulai berbulu,
ketika perasaan mulai abu - abu,
antara mengenakan celana pendek
atau panjang
biar tak malu
dengan bulu.
Itulah dulu.


Ada hitam dan putih
yang sudah bersanding
terlebih dahulu.
dan semoga 
putih selalu menjadi pemandangan baru
di depan murid
ketika gedung baru
sudah menjelma
nanti.
tak perlu lagi
ada debu
di dalam udara
yang dihirup,
selamat  tinggal
penghapus abu - abu.
Jadilah kenangan masa lalu.
berlalu bersama debu
dan haru.

( Terima kasih kepada Ivan Lindra Wijaya yang telah bersedia memperagakan memegang penghapus abu - abu )