Jumat, 22 April 2011

Keledai yang ditunggangi

ditulis menjelang Paskah 2011, inspirasi judul dari Hari Minggu Palma. 



Keledai yang ditunggangi,
sudah dilepas ikatannya,
dari sumur di suatu desa,
setelah meminta ijin ke si empunya,
untuk melakukan tugasnya,
mengantar ke peristiwa,
yang harus dijalani,
sepenuh hati,
sepenuh karsa,
                                                      sepenuh jiwa.


Menunggangi keledai,
adalah pengakuan yang dimiliki,
ketika melakukan sesuatu,
untuk diri sendiri
maupun orang lain,
adalah rasa bahagia
yang memenuhi dada,
ketika yang dilakukan,
terasa berguna untuk orang lain,
terasa melegakan untuk diri sendiri.



Menunggangi keledai,
adalah rasa tanggungjawab,
yang muncul, ketika
melihat kemampuan akademik murid yang mencemaskan,
melihat perhatian murid yang menggemaskan,
melihat kegemaran murid yang memanaskan hati,
melihat masa depan generasi penerus,
yang mungkin akan merosot ke titik nadir.




Menunggangi keledai,
janganlah terbalik menjadi
hati dan pikiran kita,
yang ditunggangi
oleh
kemalasan,
kebodohan,
keserakahan,
ketidakperdulian,
yang menunggangi
dan yang ditunggangi,
menjadi terbalik - balik
seperti jaman edan
sekarang.


Menunggangi keledai,
bersungguh sungguhlah
mengatur sang keledai,
lambang kebodohan,
lambang kemalasan,
lambang ketidakperdulian,
sehingga
tidak ada penyesalan,
di kemudian hari,
ketika melihat ke belakang,
dan menatap tapak - tapak kaki,
sang keledai,
yang membekas,
di relung penyesalan :,
seandainya dulu,
tidak kulakukan hal itu...
seandainya...

penyesalan selalu datang terakhir,
mencubit,
menyadarkan,
sakitnya menyebar ke seluruh dada.
dan hanya dapat berucap :
seandainya...

Senin, 04 April 2011

Chin Min pertama (lagi)

Tiga puluh tahun lebih telah berlalu,
dulu, Chin Min adalah saatnya
menginap di rumah Nenek,
bangun di subuh hari jam 4,
sarapan sepotong roti marie, 
secangkir teh tawar panas,
dan menunggu truk yang datang menjemput,
berdesakan di bak truk,
bersama famili lain,
                                                      menuju Ngi Chiung.
                                                      Dan hari itu berarti,
                                                      bolos sekolah.

Sekarang,
setelah lama berlalu,
Chin Min pertama (lagi) dijalani.
Tetap harus bangun di subuh hari,
sarapan sekedarnya,
mandi secepatnya,
menikmati perjalanan,
dan tidak bolos mengajar,
karena memilih hari minggu.


Memasuki kompleks Ngi Chiung
adalah memasuki kompleks kemeriahan
karena lampion menyambut sepanjang boulevard,
dengan sekian tiang beton baru,
berkepala tiga lampu sorot,
dan lalulintas yang macet
karena jalan sempit disumbat parkir mobil,
semuanya dinikmati
dengan kesabaran dan tenggang rasa,
tak ada batas waktu yang dikejar,
tak ada matahari yang harus didahului terbitnya.

Suasana yang terasa,
saling menyapa dengan senyuman,
masing - masing dengan urusannya,
menata dan menjaga sesaji,
sambil berdoa,
semoga tenang di alam baka,
inilah bukti bakti dan hormat dari saudara,
anak dan cucu,
dan termenung sejenak,
mengenang masa lalu ketika masih bersama,
mungkin menyesali yang tidak sempat diucapkan,
kata yang tercekat di ujung lidah,
sikap cinta yang tidak dilakukan,
ketika masih bisa bertegur sapa,
dan sedikit rasa penyesalan menyergap,
menusuk pilu di relung perasaan.


Chin Min adalah refleksi diri,
ketika memandang kuburan terlantar,
tak diketahui ahli warisnya,
mengira - ngira sejarah yang telah lalu,
membantu mengirim doa ke Yang Maha Kasih,
semoga yang terlupakan,
menemukan kebahagiaan di sana,
di suatu tempat,
                                                     di suatu waktu.

Chin Min adalah tradisi,
yang semoga lebih baik lagi di tahun depan,
ketika masih diberi kesempatan,
karena kita tidak tahu di esok hari,
apakah bisa seperti ini lagi,
atau kita malah kembali,
ke haribaan sang Maha Pengasih,
berserah diri.


Chin Min menjadi reformasi,
menohok kesadaran diri,
rekonsiliasi dengan diri sendiri,
untuk meningkatkan diri,
lebih baik lagi.
Dan lagi.