Minggu, 26 Juni 2011

Sinterklas atau Piet Hitam ?

Saat - saat kenaikan kelas,
dan itu artinya,
pertentangan batin dimulai,
pikiran stress menerjang,
bagaimana harus bersikap ?
bagaimana harus memutuskan ?

Melihat murid dengan segala liku-likunya,
ada yang nakal dan malas,
ada yang diam dan bingung,
ada yang patuh tapi telmi,
semuanya campur aduk,
dan palu disodorkan
di genggaman,
mau jadi Sinterklas atau Piet Hitam ?

Sinterklas yang memberi,
kepada yang rajin
dan berprestasi,
kepada yang patuh
dan memperbaiki diri,
dengan senyuman menebarkan kasih,
membuat hati riang dan berseri.

Piet yang hitam,
melecut si nakal, malas dan liar,
dengan lecutan terangkat,
dengan libasan mendera,
dan tangis akan terdengar sejenak,
seolah menyadarkan akan penyesalan
yang selalu datang terlambat.


Saat - saat kenaikan kelas,
kepala guru akan tertunduk
makin rendah,
makin dalam,
berdoa kepada sang Khalik,
tunjukkan jalan terbaik,
demi si murid,
supaya esok akan lebih baik,
karena jalan masih panjang
dan berliku.
Ada bukit yang harus didaki,
ada puncak yang dapat diraih.
Ada yang harus ditinggal,
ada yang harus berlari,
hari demi hari menjalin usaha diri,
meniti prestasi,
dan tetap mengingat diri,
harapan masih menanti.

Dan ketika palu diletakkan,
ada rasa lega di hati,
Sinterklas sudah pergi,
Piet Hitam sudah tak tampakkan diri.
Hari sudah berganti.
Mungkin kejadian ini
akan terulang lagi.
Nanti.


( Mohon maaf, foto murid terlampir di sini hanya sebagai ilustrasi, bukan bukti )

Mereka tidak pergi, hanya tidak terlihat...

Hari itu ada sedikit upacara,
bukan senam pagi jumat seperti biasa,
tapi ada acara perpisahan
untuk tiga wajah yang sangat dikenal
di smp budi mulia,
masing-masing punya ciri khas tersendiri,
penuh warna dan makna.


Adalah bu Yanti,
yang setia menunggu di perpustakaan,
dengan buku dan koran
serta alat tulis,
di sekitar meja dinasnya,
dan akan ada celoteh,
untuk murid yang terlambat
mengembalikan buku,
untuk murid yang grusa grusu,
membeli alat tulis,
hanya untuk mengejar waktu
supaya tidak dimarahi guru.
Adalah bu Yanti,
yang jadi chef di smp bm,
mengolah makanan di dapur sekolah,
jadi gesit, lincah dan trengginas,
untuk urusan kuliner.
Adalah bu Yanti,
yang kantor dinasnya jadi markas,
guru dan karyawan smp,
untuk singgah sejenak,
berteduh,
dan ngerumpi,
apa saja :
keluhan, kegembiraan, cerita mancing,
keprihatinan terhadap generasi muda,
kejengkelan melihat zaman edan,
mendengar alunan musik dari tk,
dan dengan kejelian mata batin,
semua yang bergaung di perpustakaan
adalah hal yang off the record,
berlalu bersama angin sepoi
yang mengalir lewat kaca nako kusam,
yang tertinggal hanya kenangan,
yang dibawa pergi ke Yogya  pun
tetap kenangan
akan suatu masa,
suatu waktu,
di perpustakaan smp budi mulia.



Adalah bruder Anton,
yang penampilannya bukan preman,
dengan wajah sedikit cambang dan brewok,
yang membuat saya kagum,
dengan pembacaan puisi teaterikalnya,
dengan penguasaan bahasa bataknya yang fasih,
padahal dia orang flores,
dan bisa dengan santun,
mempersembahkan misa
pada saat ziarah di bruderan.
Adalah bruder Anton,
yang bisa galak di kelas,
dengan suara baritonnya membentak :
mati kau,
(yang mati adalah sifat buruk murid)
dan alunan nyanyian
akan terdengar :
sing sing so...
dan mungkin bruder Anton
akan menerjemahkannya
ke dalam bahasa inggris
ketika kuliah
di sanata dharma
nanti.



Adalah bu Aiwen,
yang senyumnya
tak pernah lepas,
selalu tersungging,
tapi pelajarannya
adalah matematika,
yang jadi momok,
yang bikin murid akan mencari
fotocopy jawabannya
dari teman yang pintar.
Adalah bu Aiwen,
yang punya rumus tersendiri,
kalau akan mengisi rapor,
dan saya belajar banyak soal rumus itu,
ada kasih di salah satu variabelnya,
beda dengan konsstanta kegeraman
di rumus yang kubawa,
dan entah rumus apa yang diutak - atik,
sehingga memutuskan untuk pensiun dini
dan menggeluti bidang dunia maya.


Mereka bertiga tidak pergi,
hanya tidak terlihat,
dan siapa tahu,
ada jalan yang akan menunjukkan,
di suatu hari nanti,
mereka terlihat lagi,
dengan wajah lebih berseri,
tetap berseri,
dan terus berseri,
lagi.

Rabu, 15 Juni 2011

Nasionalis ?

( Rabu, 15 Juni 2011, 
duduk mencangkung di kursi panjang kayu,
 di selasar SD dekat kantor kepsek SMP )


Siang itu,
hujan mengguyur sekolah,
basah diterpa angin dan deras air,
menyirami halaman,
dan bendera kuyup dibilas air,
kusut masai di atas ujung tiang,
tak lagi melambai,
tak lagi berkibar gagah.


Ketika rintik air hujan masih terasa,
ketika dentang lonceng gereja sudah sirna,
ketika genangan air di halaman sekolah masih tersisa,
berdirilah 3 gadis remaja,
berseragam putih biru,
berdiri setengah tegap,
terburu - buru
mengerek bendera kuyup,
                                                      turun ke bawah tiang,
melipat dengan seadanya,
dan bergegas,
berlari kecil
menyeberangi halaman sekolah,
menenteng bendera,
dan merasa
sudah melaksanakan tugas
yang diamanatkan,
sudah melakukan perintah
                                                      yang diberikan.

Apakah ini bentuk nasionalisme
yang diajarkan ?
Teladan dari siapa
yang telah diperlihatkan ?
Apakah pelaksanaan upacara
harus berdiri kaku dan garang,
tanpa peduli hujan ;yang menerpa ?
Di mana jawaban dapat ditemukan ?

Mungkin sudah mengalir di genangan air hujan
menuju selokan,
dan berbaur di keruh air sungai di bawah.
Tak terbaca,
tak terjawab,
hilang di ujung sana.


( Renungan ini ditulis
di tengah derai air mata pilu.
mendengar contek masal dihalalkan
melihat kejujuran dipinggirkan )



Minggu, 05 Juni 2011

Dalam pusaran waktu (1)

Menjelang akhir tahun ajaran,
adalah menyaksikan
riak - riak gelombang
yang tergesa - gesa menerjang
seperti sudah mencapai daratan
seperti sudah berganti atribut
seperti sudah melupakan sekarang.



Menjelang akhir tahun ajaran,
adalah menyaksikan
gelombang di belakang
mendorong gelombang di depan
menyibak keinginan
menyingkirkan halangan
maju tak gentar
menuju masa depan.


Menjelang akhir tahun ajaran,
adalah menyaksikan
sejarah yang terulang
melihat satu angkatan
akan berlalu
menjadi kenangan
hanya angka tahun ajaran
yang diingat untuk sekian bulan mungkin
untuk sekian tahun mungkin
dan ingatan akan menjadi samar
ketika bertemu kembali
mengingat - ingat identitas
kenal wajah,
lupa nama,
dan satu tepukan di dahi,
tanda pelupa,
dan senyum simpul tercurah
mengenang nostalgia.


Menjelang akhir tahun ajaran,
adalah menyaksikan
deretan angka kalender yang berlalu
satu demi satu
melihat punggung mereka
yang semakin menjauh.
Entah perasaan apa yang tertinggal...
entah kenangan apa yang melekat...
entah apa yang akan terjadi
kelak di kemudian hari,
di suatu saat,
di suatu waktu,
di suatu masa,
ketika hari - hari sudah berlalu,
mungkin kita tidak akan bertemu
lagi
karena takdir
menunjukkan jalannya sendiri...