Senin, 28 November 2011

Ketika maut menjemput

Renungan ini muncul pada hari Jumat, 25 November 2011, 
hari ultah Konggregasi Bruder Budi Mulia Pangkalpinang,
satu jam sebelum ziarah ke kuburan para perintis 
dan mereka yang pernah berkarya di Sekolah Budi Mulia - Pangkalpinang.
Requiem in pace.


Ketika maut menjemput
maka kesadaran pun muncul

betapa hidup hanya menumpang minum
betapa waktu hanya sejarak helaan napas
betapa ajal tak bisa dicegah kedatangannya.

betapa hidup penuh misteri
betapa waktu adalah relatif
apa itu lama, apa itu sebentar,
betapa ajal tiba tak mengenal tempat,
tak mengenal saat,
tak mengenal identitas.

Ketika maut menjemput
maka kesadaran pun muncul

biarkan yang terjadi harus terjadi
biarkan yang sudah saatnya
digenapi waktunya
biarkan dia mengembara di dunia ini
menemukan kesadarannya,
maut akan menjemput
setiap saat,
setiap tempat,
hanya que sera sera terucap
dan serahkan sepenuhnya
kepada Sang Maha Pengatur.

Ketika maut menjemput,
biarkan kesadaran itu muncul,

memenuhi pikiran,
membumbungkan rasa syukur
ke langit ketujuh,
tempat kesadaran bersemayam
dengan bijak,
pada akhirnya.

Minggu, 06 November 2011

Ketika reuni menjelang...

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena kehilangan sebagian ingatan,
tentang suka dan duka
di sekolah dulu.
Mencoba menggali ingatan,
sambil menghapus kenangan pahit,
semuanya bercampur baur,
hanya samar - samar tersisa.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena masih terbayang,
dendam yang tak jua hilang,
entah sebab apa,
entah kepada siapa,
hatinya tetap terkurung,
di remang bayang silam,
pikirannya masih terantuk
langit - langit picik,
jiwanya terikat,
di kobaran api gusar,
dan melihat hidup
penuh kebencian.


Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena takut kehilangan muka,
hilang kepercayaan diri,
merasa tak berarti,
di hadapan kroni,
Mencoba tampil diri,
datang dengan kamuflase,
membohongi diri sendiri.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
tak perduli hari - hari,
yang mungkin melekat di memori,
menjadikan teman karib tak berarti,
yang penting diri sendiri,
menjadi takabur diri,
dan hanya mencibir sinis,
kalian yang perlu aku,
si tinggi hati ini.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang tak mau datang,
karena aku sudah letih,
mengais - ngais rejeki,
setiap hari,
tertatih - tatih,
tetap seperti ini.
Sungguh sedih,
meminta tapi tak ada bunyi,
dan aku makin menjauhkan diri.

Dan hari - hari reuni semakin dekat.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
memamerkan diri,
dengan bangga bilang :
inilah tuanmu datang...
pongah dan takabur-nya
tak hilang - hilang
walau sudah lama berselang,
sungguh kasihan.


Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
dengan hati tulus,
mengulurkan tangan,
sudah sekian tahun berselang,
mengapa tak bilang - bilang ?
Kugenggam tanganmu kawan,
biarkan kenangan kita tetap berjalan,
dan persahabatan kita tak terentang,
banyak hal dapat kita lakukan,
banyak suka dapat kita ciptakan,
marilah kawan bersama lagi,
demi masa depan terang benderang.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
mencari keberanian,
untuk meminta maaf
atas kenakalan dulu,
atas kekhilafan dulu,
atas kebodohan dulu,
demi ketentraman hati,
demi keterbukaan pikiran,
dan kelegaan tak akan sembunyi lagi.

Ketika reuni menjelang,
banyak yang mau datang,
karena ini kesempatan,
yang mungkin tak akan terulang,
karena esok sudah mendiang
dan tinggal kenangan.



Ketika reuni menjelang,
banyak yang.......

Dan hari - hari reuni sudah datang,
sekarang.

Peluk daku, Guru ! (Cerita Pertama)

Peluk daku, Guru !
Semalaman aku tak bisa lelap,
selalu terngiang suara gaduh,
pertengkaran ayah dan ibu,
tentang tagihan yang harus dibayar,
tentang kesehatan ibu yang kian memburuk.
tentang atap rumah yang bocor,
tentang motor ayah yang sering mogok,
tentang nilai ulanganku yang jelek,
tentang tetangga yang nyinyir,
tentang segala tentang.


Peluk daku, Guru !
Pagi ini aku bangun terlambat,
cuma cuci muka,
sikat gigi
tanpa sarapan,
terburu - buru berlari
karena ayah sudah menunggu
dengan suara klakson yang hingar bingar
dan omelan rutin di pagi hari.

Peluk daku, Guru !
di kelas aku bikin keributan,
mencari perhatianmu sesaat,
kugedor meja,
kuganggu teman,
kulampiaskan risauku,
hanya supaya aku diperhatikan,
tolong batinku,

segarkan pikiranku,
biar aku tak menangis,
tersedu dalam hati.


Peluk daku, Guru !
siang yang sepi di rumah,
ayah sibuk di luar,
mencari uang untuk sekolahku,
ibu mengurus adik kecilku,
yang rewel dan ingusan,
aku hanya makan siang,
sepiring nasi

dengan lauk mata sapi
dan kerupuk yang disiram kecap hitam.

Peluk daku, Guru !
hati yang sunyi di malam hari,
suara jangkrik terdengar merintih,
pe er tak bisa kukerjakan,
les tak mampu kuikuti,
tak ada yang membayar,
ayah pulang dengan wajah letih,
dan tidur cepat dengan dengus turun naik,
ibu meninabobokan adik kecilku,
alunannya menyusup ke dalam relung hatiku,
sampai kapan ini terjadi ?

Peluk daku, Guru !
walau hanya sesaat,
tanpa ada getar kasih,
cukuplah untuk melipur hati.
Biarkan sedu sedan ini
mengalir di dadamu,
dan akan terpatri di ingatanku,
Guru memeluk aku,
karena permintaanku.


Peluk daku, Guru !
Guru,
peluk daku...