Sabtu, 27 Oktober 2012

Ketika koor tak hadir

( fiksi ; terinspirasi oleh kejadian di hari Minggu, 30 September 2012 di Katedral )

Hari minggu biasa,
seperti biasa,
umat mengalir ke gereja
mengisi bangku kosong yang merata,
tanpa terkecuali di sayap gereja
tempat koor biasa bertahta.


Hari minggu biasa,
seperti biasa,
misa dimulai
dengan sedikit berbeda :
tak ada koor bertahta,
tak ada organis tersedia,
kosong tak ada suara.


Hari minggu biasa,
seperti biasa,
sesosok gadis kecil berkepang dua,
pelan - pelan menghampiri bangku koor
dan sedikit ragu duduk di barisan kedua.



Hari minggu biasa,
seperti biasa,
tertatih - tatih sang nenek bungkuk
melangkah,
meraih tiang penyangga di bangku koor
dan duduk dengan takzim.
Senyum simpul lamat - lamat terukir
di ujung bibir sang gadis kecil.


Hari minggu biasa,
seperti biasa,
tergopoh - gopoh dua orang ibu
menghampiri bangku koor,
yang satu mencari buku mazmur,
tak jua tersua,
yang satu duduk di hadapan organ,
bingung,
bagaimana menghidupkan sang organ,
hanya satu dua nada terdengar.
Senyum simpul makin jelas di bibir sang gadis kecil.


Hari minggu biasa,
seperti biasa,
tergesa - gesa seorang pria paruh baya
dan seorang pemuda menyodorkan buku mazmur
dan sang wanita menjadi lektor dadakan
disertai pria paruh baya mendampingi jadi pemazmur.
Senyum sang gadis merekah manis.


Hari minggu biasa,
seperti biasa,
datang lagi wanita dewasa
sukarela menjadi dirijen koor
biar ada lantunan suara terpimpin
di deretan bangku kosong di sayap gereja.
Senyum sang gadis tetap merekah manis.




Hari minggu biasa,
seperti biasa,
ketika misa usai
tak ada sang gadis kecil duduk di sana,
sang nenek sudah diamit cucunya pergi keluar,
sang wanita dewasa dan pria paruh baya,
kembali ke tempat duduknya sedia kala,
bangku koor kosong seperti semula.
seperti seharusnya...
yang tidak seharusnya sudah berlalu...
lupakan saja.
Ini hari minggu biasa,
seperti biasanya.
sang gadis kecil sudah pergi
entah ke mana...

( foto sengaja dibuat hitam putih dan tidak jelas untuk mengaburkan identitas supaya tidak terjadi tuntutan hukum di kemudian hari. mohon ijin untuk yang wajahnya ditampilkan )

Sabtu, 20 Oktober 2012

Menangislah... menangis


Menangislah... menangis
wahai guru sang pendidik
melihat kemajuan jaman
menggerus ajaran masa lalu
yang dulu menjadi teladan
sekarang adalah ajaran kuno
tak memberikan keuntungan materi
di jaman sekarang,
ketika proses dianggap sebelah mata
hasil yang jadi tujuan utama,
tak ada keringat bercucuran
yang ada uang disumpalkan.


Menangislah... menangis
wahai guru sang pendidik
melihat kemajuan jaman
menggerus ajaran masa lalu
yang dulu menjadi teladan
sekarang adalah lagu kuno
karena banyak jalan pintas
yang penting hasil
bukan proses
dan nilai rapor satu - satunya tujuan
segala cara dilakukan
demi tercapainya harapan.


Menangislah... menangis
wahai guru sang pendidik
melihat kemajuan jaman
menggerus ajaran masa lalu
yang dulu menjadi teladan
sekarang adalah rintih sayup
dan menangislah... menangis
jika masih ada airmatamu yang tersisa
di kelopak mata kehidupan
mungkin bukan air mata yang mengalir
sudah berubah jadi tetesan darah
tak ada lagi cucuran keringat bercampur baur
hanya krim pelembab muka yang terseka.

Menangislah... menangis
wahai guru sang pendidik
jaman sudah berubah,
sadarlah
dan siumanlah
airmata tak akan menyelesaikan masalah
hanya menambah beban di kehidupan ini.
Hanya perlu seulas senyum merekah
di ujung senja hari ini.


Ketika kami berdesakan

 Ketika kami berdesakan
di ruang - ruang kegembiraan
dengan riuh hingar bingar celoteh
dan semangat belajar
tak mau ketinggalan,
memandang penuh harap
ke arah barat almamater :
" cepatlah usai penantian ini,
biar semangat terus bertambah,
prestasi terus diraih,
dan kasihilah sesama
terpateri di hati,
dilakoni sepenuh bakti
demi almamater sang suri "

Ketika kami masih berdesakan
di ruang - ruang kegembiraan
dengan riuh hingar bingar celoteh
biarkan ini tetap dijalani
dengan semangat dan harap
mendorong setiap langkah kami.

Ketika kami berada di ruang kegembiraan
dengan riuh dan semangat berbagi
ilmu dan kasih
biarkan ini tetap dijalani
demi ibunda kami,
almamater ini.

Ketika kami tetap bersemangat berbagi
di almamater ini
dan masih.



Minggu, 14 Oktober 2012

Almamater (Ceritera kedua)

Lihat itu,
harapan baru
mulai menjulang
selapis demi selapis
menuju langit
membentuk kerangka
pendidikan berazaskan kasih
membantu yang lemah dan terpinggirkan

Lihat itu,
harapan baru
mulai menjulang
selapis demi selapis
menuju langit
berfondasi kemanusiaan
sudah lama dibangun
dari kepingan dedikasi
yang dirangkai sejak 77 tahun silam
menuju masyarakat lebih berseri.

Lihat itu,
harapan baru
mulai menjulang selapis demi selapis menuju langit
di sana sudah bersimpuh
ibunda yang ramah
dengan senyum simpul
tatapan binar secerah mentari pagi
tangan berdekap di dada
memandang penuh cinta
dan
ketika tangan bunda terjulur
mengembangkan kedua telapak tangan
bunda menjadi ibu yang ramah
dengan perhatian yang tak pernah putus
selalu.