Duduk sendirian di bangku semen
di teras kelas 3
memandang ke depan
melihat tangki air baru,
stainless steel,
tinggi besar dan berkilau,
menjulang di dalam taman bermain.
Cuaca terik menyengat,
dan pantulan di tangki air
sekilas membentuk bayangan kilas balik
sembilan bulan lalu
ketika menyaksikan
hari - hari pencarian sumber air
yang melelahkan.
Mem-bor di lapangan bulutangkis di aula,
dengan mesin yang berkekuatan besar,
dan jam - jam yang menjenuhkan
menunggu kepastian,
seberapa besar debit air bisa didapat.
Dan akhirnya,
harapan itu kandas,
karena debit dianggap tidak mencukupi,
padahal lokasi itu adalah hasil terawang
dari seorang bruder,
yang punya daya linuwih.
Kemudian berpartisipasilah
seorang bapak di tata usaha sekolah
dan dengan doa tulus
sumber air didapatkan
di dalam taman TK
Dan pengulangan kerja dilakukan
dengan harap - harap cemas
mencari sumber kehidupan
menanti lagi
dan
doa terkabul
debit air sesuai dengan yang diharapkan.
Hari demi hari berlalu,
berganti minggu,
berganti bulan
dan sekarang baru terwujud
menara dengan tangki air di atasnya.
Lelah hati sudah menunggu.
Dan kesadaran baru muncul
bahwa air memegang kendali vital,
Sumber air dulu
hanya dari sumur tua di samping perpustakaan SMP,
tidak cukup
untuk seribu jiwa selama jam sekolah,
urusan kebersihan,
urusan peturasan,
urusan kehidupan.
Pekerjaan lain sudah menunggu,
menanti gedung sekolah baru terwujud
dengan bak air sekolam renang
entah berapa bulan lagi
harus menanti.
Dan lamunan terputus,
ada murid berteriak :
" Pak, soal 89 menurun, banyu, apa artinya ? "
Ekskul Asah Otak sedang berlangsung.
Kembali ke kenyataan,
sekarang.