hujan lebat di siang hari,
sekolah kuyup diguyur,
air menetes di semua pojok,
ingusku ikut meleleh,
kususut tak mau berhenti,
kuhapus, tetap saja mengalir,
tak peduli, sambil berlari kecil,
kucari ibu di pojok ruang tunggu,
sedikit omelan dan cubitan kudapat,
dan sebutir pempek tersumbat di mulutku,
lalu ibu bergegas menerobos terpaan air,
sambil membopong keranjang persegi
di pinggangnya,
menuju kantor guru,
dipanggil karena banyak yang lapar,
di udara dingin menyergap.
ku ikut dengan patuh,
karena tak ingin kehilangan pandangan
dari wajah ibu yang cantik.
Peluk daku, Guru.
sambil tetap mengulum potongan pempek,
yang rasanya asin bercampur ingus,
melihat ibu melayani konsumen,
dan wajah ramah mengelus rambutku,
memandangku sambil tersenyum,
bertanya siapa namaku,
terbata - bata aku menjawab,
menyebut namaku tergagap,
dan senyum ramah itu tetap mengikutiku.
Peluk daku, Guru.
wajah yang membuatku bangga,
karena ibu ikut berjuang,
membesarkanku dengan kasih sayang,
membantu ayah dengan berjualan,
sekeranjang otak - otak dan pempek setiap hari,
sehingga penghasilan ayah
sebagai penjahit,
cukuplah melewati hari.
untuk kami bertiga
menapaki mimpi.
Peluk daku, Guru.
masih jauh mimpi dapat kuraih,
masih lama cita - cita dapat kugapai,
tak peduli aku,
selama ibu ada di sampingku,
selama ayah berjibaku,
kami bertiga tetap mampu,
meniti sehari demi sehari,
sambil berlari,
menerobos air langit
di kehidupan ini.
Peluk daku, Guru.
mimpiku akan kuraih,
nanti.
(Terima kasih kepada Harianto T. 81 yang telah menyumbangkan foto hitam putih-nya)