Peluk daku, Guru !
Minggu ini terasa melelahkan.
Setiap hari harus belajar giat
membaca, menghafal dan berhitung,
buku pelajaran bertumpuk di mejaku
ulangan mendera berurut
omelan guru terngiang di telinga :
belajar, belajar, belajar...
Peluk daku, Guru !
ayah mudah marah di rumahku,
ringan tangan dan ketus,
gara - gara harga timah merosot,
penghasilan ayah berkurang,
malah terancam bangkrut,
karena ekonomi di sini
seperti lingkaran setan,
jatuh di satu sisi
menyeret sisi yang lain
dan rontoklah ekonomi sebagian besar,
seperti susunan kartu remi punyaku
ditiup angin kencang dari jendela,
kartu uang sekolah pun
masih terselip di buku tulis,
sudah dua bulan ayah tak menanyakan
satu kali pun tentang uang sekolah,
ibu lebih memerlukan uang
untuk membeli beras
dan obat penurun demam untuk adik.
Peluk daku, Guru !
masuk ke kelas terasa menyesakkan,
lembaran kertas soal seperti melotot,
angka empat sudah terbayang
di halaman muka,
mungkin aku harus mengulang setahun lagi,
nilaiku kurang dari pas - pasan,
sepertinya aku
jadi anak terbodoh di dunia ini.
Peluk daku, Guru !
Masalah datang silih berganti,
persoalan tak puas mengunjungi,
hanya sesuatu yang menguatkan,
melihat linangan air mata ibu,
di larut malam
ketika hujan gerimis membasahi bumi,
aku harus belajar
biar kelak bisa menjadi orang kaya,
seperti yang kulihat di film korea,
di suatu hari di masa depan,
biar ibu dapat menikmati hari tuanya
dengan bahagia
setelah berkorban banyak
selama ini.
Peluk daku, Guru !
biarkanlah air mataku
membasahi dadamu.
Berikan daku
tiga puluh detik kehangatan
untuk melegakan daku.
Peluk daku, Guru !
Akan kuingat ini selalu.