Saat - saat kenaikan kelas,
dan itu artinya,
pertentangan batin dimulai,
pikiran stress menerjang,
bagaimana harus bersikap ?
bagaimana harus memutuskan ?
Melihat murid dengan segala liku-likunya,
ada yang nakal dan malas,
ada yang diam dan bingung,
ada yang patuh tapi telmi,
semuanya campur aduk,
dan palu disodorkan
di genggaman,
mau jadi Sinterklas atau Piet Hitam ?
Sinterklas yang memberi,
kepada yang rajin
dan berprestasi,
kepada yang patuh
dan memperbaiki diri,
dengan senyuman menebarkan kasih,
membuat hati riang dan berseri.
Piet yang hitam,
melecut si nakal, malas dan liar,
dengan lecutan terangkat,
dengan libasan mendera,
dan tangis akan terdengar sejenak,
seolah menyadarkan akan penyesalan
yang selalu datang terlambat.
Saat - saat kenaikan kelas,
kepala guru akan tertunduk
makin rendah,
makin dalam,
berdoa kepada sang Khalik,
tunjukkan jalan terbaik,
demi si murid,
supaya esok akan lebih baik,
karena jalan masih panjang
dan berliku.
Ada bukit yang harus didaki,
ada puncak yang dapat diraih.
Ada yang harus ditinggal,
ada yang harus berlari,
hari demi hari menjalin usaha diri,
meniti prestasi,
dan tetap mengingat diri,
harapan masih menanti.
Dan ketika palu diletakkan,
ada rasa lega di hati,
Sinterklas sudah pergi,
Piet Hitam sudah tak tampakkan diri.
Hari sudah berganti.
Mungkin kejadian ini
akan terulang lagi.
Nanti.
( Mohon maaf, foto murid terlampir di sini hanya sebagai ilustrasi, bukan bukti )
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon mencantumkan identitas anda yang jelas dan sebenarnya. Komentar dari Anonim tidak akan ditampilkan. Terima kasih.