Selasa, 23 November 2010

Melihat dengan empati

Hari itu senin, 22 November 2010,
hari masih pagi,
jam 07.30,
sekolah baru dimulai,
seorang bapak,
berjalan pelan menghampiri pintu depan sekolah,
ada dua meja sudah diletakkan di dekat pintu,
ibu Magdalena sudah siap di tempat duduknya,
hari itu adalah permulaan pembagian sembako,
wujud kepedulian sekolah
untuk yang terpinggirkan,
yang hidup berdampingan di sekitar kita,
yang atas rekomendasi guru - guru sekolah,
diberikan kupon untuk mengambil wujud cinta kasih :
beras 5 kg, satu dus mie instan,
dua liter minyak goreng,
harganya tidak seberapa,
bagi bos timah dan sarang walet,
tapi nilainya berharga bagi mereka yang membutuhkan.


Mengamati mereka yang silih berganti datang,
sambil memotret,
terbersit pikiran,
seandainya aku yang berada dalam posisi mereka,membawa kupon dan mengambil jatah,
apa yang kupikirkan ?
Bersyukurkah ?
Merasa malukah ?
Atau biasa - biasa saja, berpikir sudah seharusnya ?
Sambil sesekali memotret adegan pembagian, 
iseng - iseng kumasuki ruang uks yang jadi "gudang" sementara,
dan memotret tumpukan barang yang akan dibagikan,
terpotret juga patung setengah badan,
bapak pendiri Konggregasi Bruder Budi Mulia,
pastor Stephanus Modestus Glorieux,
dan ketika mengedit foto tersebut,
kudapati bibir patung sang bapak bersinar sedikit,
karena pantulan dari sinar flash kamera.   
Apa artinya ?
Apakah berarti aksi sosial ini diberkati sang bapak ?


Ketika siang menjelang,
datang seorang bapak tua bersepeda,
masih gagah,
berkacamata,
dan ingatanku langsung menyala,
ini bapak penjaga dan pekebun sekolah,
ketika smp masih berada di sebelah lo ngin buk,
oom nandus panggilannya.
Kami saling menyapa,
ingatan oom masih kuat,
ketika kusebutkan nama dan rumah,
karena kami pernah bersama,
pada tahun delapan puluhan, 
di setiap sore di smp bm dulu di sana,
yang satu mengajar matematika,
yang lain mengurus tanaman sekolah.
Ah, kenangan indah...
Kami saling bercerita,
ngobrol ngalor ngidul istilahnya,
walau dua - duanya bukan orang jawa.
Walau sudah tua,
68 tahun,
oom nandus tetap gagah,
bersepeda membawa sembako ke rumahnya. 


Ketika menjelang bubaran sekolah, 
bapak tukang sampah juga datang,
membawa kupon jatah,
dan semuanya dibawa dengan sukacita
ke sepeda tua.
Ya, penghargaan untuk yang bekerja,
membersihkan sampah sekolah,
bapak yang masih setia,
menyapu benda - benda,
yang dibuang sembarangan,
mengumpulkannya di gerobak sampah,
biar semua terlihat bersih,
indah,
dan sehat.
Penghargaan untuk jasa,
dan karya,
orang - orang
yang mungkin dipandang 
sebelah mata.

Catatan ini sudah terlalu panjang ?
Tambah sedikit lagi.
Kulihat semuanya bekerja dengan riang,
membagi sembako dengan senyuman,
membawa pulang untuk tetangga yang kekurangan. 
peristiwa yang akan terulang,
setiap ulang tahun konggregasi menjelang.
Nah, ini indahnya kebersamaan.
Ada keriangan,
ada kelegaan,
senantiasa.