Tampilkan postingan dengan label Di Sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Di Sekolah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Juni 2012

Kantinku terpelanting

Kesan ini ditulis setelah berbicara dengan ko A Kim, salah satu penghuni kantin,  tadi pagi di kantin pada hari terakhir pemindahan, sabtu 23 juni 2012.


Kantin sekolah
belasan tahun sudah berdiri,
melayani dan mencari nafkah
dari murid dan guru
memenuhi kebutuhan dasar mereka
mengisi perut yang kosong sejak pagi
membina kedekatan setiap hari.


Kantin sekolah
belasan tahun sudah memberi,
menjadi piring nasi untuk beberapa keluarga
tempat untuk berteduh sejenak
melewati penatnya hari
menjadi saksi untuk banyak peristiwa
tempat bertukar informasi secuil
diam tapi bening.


Kantin sekolah
sekarang sudah pergi,
tergeser oleh renovasi gedung,
menjadi kantor guru sementara,
terpelanting ke luar pagar sekolah,
dan piring nasi itu terbanting ke lantai,
suara pecahannya berdenging sejenak,
lalu diam hening berurai air mata,
dan isak tertahan di dada,
pecahannya menusuk telapak kaki.
rasa pedihnya mendadak,
pilu menusuk.

Kantin sekolah sudah terpelanting,
meninggalkan murid yang mengeluh :
"di mana aku bisa jajan, ma ?"
dahi sang bunda berkerut,
wajahnya cemberut menahan penat,
setiap hari selalu bangun pagi,
menyiapkan bekal untuk sang buah hati,
karena kuatir dengan higienis jajanan
yang diraih secuil dari luar sana.

Kantin sekolah sudah terpelanting,
mungkin tak akan kembali
lagi.

(dan anakku juga mengeluh dengan keluhan yang sama ketika nanti kalau sudah masuk sekolah)

Sabtu, 02 Juni 2012

Kesadaran

ya, ya, ya, kesadaran muncul
melihat jam sudah hampir di angka tujuh,
sound system belum disiapkan,
bendera belum dirapikan,
petugas upacara masih bergerombol,
mematut - matut aksesories,
bertindaklah, bantulah,
biar semua menjadi lancar.



ya, ya, ya, kesadaran muncul
ketika upacara sudah selesai,
sound system belum dibereskan,
murid - murid sudah masuk ke kelas,
masing - masing guru
sibuk dengan urusannya,
apa susahnya,
membereskan yang tertinggal ?

ya, ya, ya, kesadaran muncul
melihat murid yang murung di kelas,
dengan pandangan mata menerawang,
pikiran melayang entah ke mana,
membersitkan keinginan untuk mengetahui,
ada apa gerangan ?


ya, ya, ya, kesadaran muncul
ketika satu kelas hingar bingar,
ditinggal guru yang seharusnya mengajar,
kenapa tidak membagikan waktu luang
menentramkan anak - anak tersayang ?



ya, ya, ya, kesadaran muncul
melakukan yang dapat dilakukan,
tanpa ada beban,
tanpa ada keterpaksaan,
tanpa ada pamrih,
tanpa ada tak peduli,
hati akan jadi riang,
senyum akan terkembang,
dan kita makin kaya,
karena dapat memberi,
tanpa ada kehilangan.
mari tetap peduli.

ya, ya, ya, kesadaran muncul
kesadaran, ya
ya, kesadaran.
ya, ya, ya, kesadaran.


(Terima kasih untuk Harianto T. 81 yang telah menyumbangkan foto pohon Belimbing di pojok belakang sekolah)

Minggu, 16 Oktober 2011

Riwayat satu unit tangki air

Duduk sendirian di bangku semen
di teras kelas 3
memandang ke depan
melihat tangki air baru,
stainless steel,
tinggi besar dan berkilau,
menjulang di dalam taman bermain.

Cuaca terik menyengat,
dan pantulan di tangki air
sekilas membentuk bayangan kilas balik
sembilan bulan lalu
ketika menyaksikan
hari - hari pencarian sumber air
yang melelahkan.
Mem-bor di lapangan bulutangkis di aula,
dengan mesin yang berkekuatan besar,
dan jam - jam yang menjenuhkan
menunggu kepastian,
seberapa besar debit air bisa didapat.
Dan akhirnya,
harapan itu kandas,
karena debit dianggap tidak mencukupi,
padahal lokasi itu adalah hasil terawang
dari seorang bruder,
yang punya daya linuwih.

Kemudian berpartisipasilah
seorang bapak di tata usaha sekolah
dan dengan doa tulus
sumber air didapatkan
di dalam taman TK
Dan pengulangan kerja dilakukan
dengan harap - harap cemas
mencari sumber kehidupan
menanti lagi
dan
doa terkabul
debit air sesuai dengan yang diharapkan.

Hari demi hari berlalu,
berganti minggu,
berganti bulan
dan sekarang baru terwujud
menara dengan tangki air di atasnya.
Lelah hati sudah menunggu.


Dan kesadaran baru muncul
bahwa air memegang kendali vital,
Sumber air dulu
hanya dari sumur tua di samping perpustakaan SMP,
tidak cukup
untuk seribu jiwa selama jam sekolah,
urusan kebersihan,
urusan peturasan,
urusan kehidupan.


Pekerjaan lain sudah menunggu,
menanti gedung sekolah baru terwujud
dengan bak air sekolam renang
entah berapa bulan lagi
harus menanti.

Dan lamunan terputus,
ada murid berteriak :
" Pak, soal 89 menurun, banyu, apa artinya ? "
Ekskul Asah Otak sedang berlangsung.
Kembali ke kenyataan,
sekarang.

Minggu, 26 Juni 2011

Mereka tidak pergi, hanya tidak terlihat...

Hari itu ada sedikit upacara,
bukan senam pagi jumat seperti biasa,
tapi ada acara perpisahan
untuk tiga wajah yang sangat dikenal
di smp budi mulia,
masing-masing punya ciri khas tersendiri,
penuh warna dan makna.


Adalah bu Yanti,
yang setia menunggu di perpustakaan,
dengan buku dan koran
serta alat tulis,
di sekitar meja dinasnya,
dan akan ada celoteh,
untuk murid yang terlambat
mengembalikan buku,
untuk murid yang grusa grusu,
membeli alat tulis,
hanya untuk mengejar waktu
supaya tidak dimarahi guru.
Adalah bu Yanti,
yang jadi chef di smp bm,
mengolah makanan di dapur sekolah,
jadi gesit, lincah dan trengginas,
untuk urusan kuliner.
Adalah bu Yanti,
yang kantor dinasnya jadi markas,
guru dan karyawan smp,
untuk singgah sejenak,
berteduh,
dan ngerumpi,
apa saja :
keluhan, kegembiraan, cerita mancing,
keprihatinan terhadap generasi muda,
kejengkelan melihat zaman edan,
mendengar alunan musik dari tk,
dan dengan kejelian mata batin,
semua yang bergaung di perpustakaan
adalah hal yang off the record,
berlalu bersama angin sepoi
yang mengalir lewat kaca nako kusam,
yang tertinggal hanya kenangan,
yang dibawa pergi ke Yogya  pun
tetap kenangan
akan suatu masa,
suatu waktu,
di perpustakaan smp budi mulia.



Adalah bruder Anton,
yang penampilannya bukan preman,
dengan wajah sedikit cambang dan brewok,
yang membuat saya kagum,
dengan pembacaan puisi teaterikalnya,
dengan penguasaan bahasa bataknya yang fasih,
padahal dia orang flores,
dan bisa dengan santun,
mempersembahkan misa
pada saat ziarah di bruderan.
Adalah bruder Anton,
yang bisa galak di kelas,
dengan suara baritonnya membentak :
mati kau,
(yang mati adalah sifat buruk murid)
dan alunan nyanyian
akan terdengar :
sing sing so...
dan mungkin bruder Anton
akan menerjemahkannya
ke dalam bahasa inggris
ketika kuliah
di sanata dharma
nanti.



Adalah bu Aiwen,
yang senyumnya
tak pernah lepas,
selalu tersungging,
tapi pelajarannya
adalah matematika,
yang jadi momok,
yang bikin murid akan mencari
fotocopy jawabannya
dari teman yang pintar.
Adalah bu Aiwen,
yang punya rumus tersendiri,
kalau akan mengisi rapor,
dan saya belajar banyak soal rumus itu,
ada kasih di salah satu variabelnya,
beda dengan konsstanta kegeraman
di rumus yang kubawa,
dan entah rumus apa yang diutak - atik,
sehingga memutuskan untuk pensiun dini
dan menggeluti bidang dunia maya.


Mereka bertiga tidak pergi,
hanya tidak terlihat,
dan siapa tahu,
ada jalan yang akan menunjukkan,
di suatu hari nanti,
mereka terlihat lagi,
dengan wajah lebih berseri,
tetap berseri,
dan terus berseri,
lagi.

Kamis, 03 Maret 2011

Rumah Putih Biru

Putih Biru adalah warna lain
yang ditemui
di hari - hari baru ini.
Setelah enam bulan
hanya memandang Putih Merah
yang berlarian,
berlompatan,
jungkir balik,
tak pernah diam,
                                                      tak pernah tenang.

Ah, perubahan suasana
sejenak,
lebih tenang,
sedikit tenteram,
lebih pengertian.
Putih Biru yang menyejukkan,
di gedung yang sudah 17 tahun
berselang



Memasuki rumah baru,
mengingatkan waktu dulu,
ketika masih pemalu,
ketika masih ragu - ragu,
sekarang sudah tidak seperti dulu,
jangan ragu,
jangan malu,
maju
mencari yang dituju.


Semoga Putih Biru,
tidak meluapkan haru biru,
tidak menahan gerak maju,
tidak memalukan.
Hanya ada satu tanda seru,
maju !

Selasa, 01 Maret 2011

Waktu terus berlalu (bagian ke-3)

Berdiri di selasar,
di lantai atas smp budi mulia,
menatap ke bawah,
adalah menatap sudut pandang lain
keluar dari kotak sd budi mulia.





Berdiri di teras kelas,
di lantai atas smp budi mulia,
memandang ke sekeliling,
adalah menatap masa lalu,
yang sudah berubah seperti sekarang,
tak terasa waktu sudah berlalu,
begitu jauh.





Berdiri di belakang pagar tembok pembatas,
di lantai atas smp budi mulia,
melemparkan pandangan sejenak,
adalah merindukan saat dulu,
ketika seragam putih hijau
ditemani kaki berbulu,
menapak selasar kelas
dengan terburu - buru,
dikejar dentang bel yang seru.




Berdiri di lapangan bola volley dulu,
yang sudah tersapu tembok gedung,
adalah merindukan waktu dahulu,
ketika akar nyamplung kekar melaju,
ketika sepotong lapangan
ditumbuhi semak dan puteri malu,
ketika secuil rindu
disapu angin lalu.



Berdiri di sini,
sekarang,
adalah menatap maju,
menyongsong yang perlu dilakukan,
tetap setia,
tanpa keluh,
tiada rasa kelu,
semoga semuanya tetap utuh,
kenangan yang berlalu berselimut rindu,
                                                      harapan yang digapai maju.

Waktu terus berlalu,
selalu.



Sabtu, 01 Januari 2011

Waktu terus berlalu (bagian ke-1)

Waktu terus berlalu...
Sudah 76 tahun usia Sekolah ini,
Sudah banyak nostalgia bertumpuk di memori,
terpatri silih berganti,
terpilih atau tersisih.

Waktu terus berlalu...
pandanglah bangunan ini,
diintip dari jendela kusam.
tergerus waktu yang tertatih,
bangunan yang akan diganti,
nanti.



Waktu terus berlalu...
pandanglah lonceng tua ini,
tergantung sepi,
ditemani kucuran air hujan
dari talang yang bocor,
berguna ketika listrik mati,
dengan pukulan palu tiga kali,
menandakan waktu sudah berganti.

Waktu terus berlalu...
lihatlah di pojok sepi,
lubang di pagar loteng,
terkuak oleh gerusan jaman,
tanda usia yang makin renta,
terbata - bata
berpegangan pada asa
menghadapi tantangan jaman.



Waktu terus berlalu...
lihatlah sekeliling,
sekolah dikepung duri :
rumah walet dan dept. store,
pertanda desakan modernisasi,
atau sekedar membuang sepi,
biar tetap berseri.



Waktu terus berlalu...
lihatlah sebatang nyamplung,
berdiri letih,
seusai dera rinai hujan,
di pojok yang sepi,
sendiri.

Waktu terus berlalu...
dan tetap berlalu.
Selalu.

Waktu terus berlalu (bagian ke-2)

Waktu terus berlalu,
menyusuri selasar di sekolah,
menapak kenangan dahulu,
dulu,
ketika masih pemalu,
dan ragu - ragu.



Waktu terus berlalu,
lihatlah tangga parabola itu,
dulu menaikinya
dengan ragu dan kaku,
sekarang sang tangga
masih seperti dulu,
cuma berwarna lebih maju,
terletak di lereng taman
bukan taman yang dulu.


Waktu terus berlalu,
pandanglah patung Santo Don Bosco sejenak,
ketika melintas di lobby sekolah,
karena dulu kita tidak sempat melihat,
karena patung eyang terlalu tinggi.
melewati batas pandangan kita.
Mungkin juga kita takut,
dengan warna hitam wajah eyang
yang tergerus waktu
dihinggapi noda dan debu.


Waktu terus berlalu,
deretan jendela kusam, 
di ruang kelas atas,
mengingatkan lantai kayu berdebu,
mengingatkan 'hantu' di  gudang belakang, 
mengingatkan bola kasti pak a siong,
yang memantul di dinding  kusam,
ah, nostalgia seru.


Waktu terus berlalu,
tangga batu berdebu,
penghubung tk dan smp kini,
dulu adalah jalan setapak,
menuju pinggir sungai rangkui,
membangkitkan motivasi,
ayo, berjuang,
menuju puncak tangga prestasi,
demi masa depan berseri.




Waktu terus berlalu,
deretan toilet yang sudah mem-'beku',
mengingatkan zaman dahulu,
deretan yang selalu penuh,
ketika lonceng 'keluar maen' dipalu,
bersiaplah untuk 'tunggu dulu',
ah, masa lalu...



Waktu terus berlalu,
adakah 'hantu' di balik pintu,
di lantai dasar,
di bawah tk,
pintu yang membisu,
tanpa pernah tahu,
banyak kenangan sudah berlalu,
selalu.





Waktu terus berlalu,
garasi sepeda dulu,
sekarang jadi mess guru,
tetap memberi kesan sendu,
tempat persinggahan pada waktu tertentu,
kalau ada perlu,
tempat menunggu, 
sambil tersedu - sedu
ah, siapa yang mau tahu.                                                      



Waktu terus berlalu,
dahulu berdirilah aku,
memandang bendera dan menara katedral,
mengikuti upacara bendera yang disakralkan,
berolahraga yang menyebalkan,
ditempa di bawah terik sinar mentari,
kuyub dengan peluh dan sebal,
dan sehabis itu,
minum air teh bekal, 
sambil berbagi kesal. 




Waktu terus berlalu,
gerbang di antara sd dan smp dulu,
sekarang ini adalah gerbang masuk smp kini,
penghubung sd lama dan sd baru nanti,
gerbang berpijak menuju masa depan,
yang entah lebih bermutu,
atau lebih kelabu.


Waktu terus berlalu,
tangki air di atas sumur,
yang dari dulu tak pernah disadari,
sumber air baku untuk seluruh sekolah,
yang kualitasnya sudah entah seperti apa,
sehingga perlu mencari alternatif sumber lain,
dan menggali lapangan di aula.
Air adalah sumber kehidupan,
                                                     dari dulu sampai kini.


Waktu terus berlalu,
seperti atap biru,
yang bertengger di atas jendela kelas,
dan ruang guru,
supaya tampias tidak menyerbu, 
tidak seperti dulu.
Seharusnya selalu ada sesuatu yang baru.
tidak seperti dulu.
                                              Tidak seperti dulu.